Kamis, 24 Januari 2013
Sosok Ibnu Hajar Seorang Patriot Banjar yang tertindas oleh penguasa mendapat label pembrontak di Kalsel
IBNU HAJAR DARI PATRIOT HINGGA MENJADI TOKOH KELOMPOK YANG TERTINDAS
PENGANTAR
Ketika saya disodorkan judul oleh panitia untuk seminar ini. Saya terhenyak, karena harus memilih dan memvonis predikat yang disandang oleh Ibnu Hajar pahlawan atau pemberontak. Persoalannya kedua konsep itu sangat antagonis. Hemat saya, pahlawan sudah jelas konsepnya, sedangkan pemberontak berasal dari kata berontak yang dapat diartkan ‘ melawan “ atau “tidak menurut perintah” Pemberontakan cenderung diaktualisasikan dengan kekerasan. Penyebab utamanya adalah ketidak puasan terhadap pemerintah atau kebalikann pemerintah pusat mencap kepada kelompok yang tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah.
Ketika saja berjalan-jalan ke Telaga Langsat dan sekitar Loksado, nama Ibnu Hajar seakan melegenda di benak mereka. Muncul pertanyaan, kenapa tokoh kita yang dicap oleh pemerintah sebagai pemberontak, akan tetapi di masyarakat pendukungnya ia ada dan melegenda. Saya sadar persis, dalam sejarah ada persoalan interpretasi. Tinggal kita memilih dari sudut mana Ibnu Hajar dilihat.
Terilhami dari karya Anhar Gonggong tentang Kahar Muzakar dan Van Dijk tentang Darul Islam, maka judul yang ditawarkan oleh panitia saya rubah menjadi seperti judul yang tertera di atas. Alasannya, terutama saya terkenang akan tuturan dari Collingwood (1985: XIII), bahwa obyek sejarah adalah tindakan-tindakan manusia yang telah dilakukannya pada masa lalu. Sejarah juga ilmu untuk memahami fenomena manusia yang diikat oleh massa/waktu. Tentunya apabila kita ingin memahami tindakan manusia ketika sedang membangun relasi social dalam fenomena histories kita harus menilai dengan jiwa zamannya. Dalam konteks ini, saya akan menilai Ibnu Hajar dari sisi dirinya, ketika ia bertabrakan ideology dengan pemerintah pusat. Hemat saya, ia telah melihat, merasakan, menilai , kemudia bersikap terhadap personal;an yang dihadapi oleh ia dan pengikutnya.
Dilihat dari sudut hubungan pusat dan daerah pada masa itu, tampak semakin meluasnya penguasaan pusat ke daerah. Ketika Kalimantan Selatan menyatakan dirinya sebagai bagian dari wilayah Negara kesatuan Indonesia, maka kepentingan-kepentingan penduduk yang telah melaksanakan dan merasakan pahit getirnya perjuangan sebelumnya dikorbankan untuk Negara kesatuan ini. Hal ini perlu dikemukakan untuk membantu memperjelas pemahaman terhadap Ibnu Hajar, bahwa gerakannya tidak melulu dilihat dari kacamata pusat melainkan lokalisme agar kita dapat memahami revolusi nasional dengan lebih baik.
Dalam tulisan ini saya mencoba menguraikan penyebab Ibnu Hajar menjadi tokoh masyarakat yang tertindas untukm diambil sebagai suatu pelajaran. Namun perlu saya tekankan, bahwa uraian di atas muncul dari seseorang yang hidupnya sesudah peristiwa itu lama berlangsung.
TENTANG DIVISI IV ALRI
Sukarno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia padea tanggal 17 Agustus 1945 di Jakarta telah memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Proklamasi itu merupakan realisasi dari Sumpah Pemuda yang diikrarkan pada tanggal 28 Oktober 1928. Katakan saja , peristiwa itu merupakan penanda lahirnya sebuah bangsa baru, Negara baru, rakyat baru dengann nama baru yaitui Indonesia ( Gonggong, 2000:225). Proklamasi itu segera menggerakan masyarakat Negara baru ini yang dahulunya bernama Pemerintah Hindia Belanda untuk memberi dukungan atas proklamasi kemerdekaan.
Pada sisi lain, Belanda sebagai negara penjajah tidak menerima kenyataan tentang proklamasi kemerdekaan, Indonesia sebab ia ingin berambisi untuk memerintah kembali di negri baru ini. Ambisi Belanda itu, memperoleh reaksi keras dari seluruh bangsa Indonesia termasuk di Kalimantan Selatan. Gerakan anti Belanda di Kalimantan Selatan dibagi menjadi dua gerakan perjuangan. Perjuangan secara legal berbentuk partai-partai politik, yaitu Sarekat Kerakyatan Indonesia (SKI), Sarekat Muslim Indonesia (SERMI) dan Kepanduan Rakyat Indonesia (KRI), sedangkan gerakan yang illegal berbentuk organisasi-organisasi gerilya seperti Barisan Pemuda Republik Indonesia Kalimantan (BPRIK), Gerakan Pemuda Indonesia Merdeka (GERPINDAM) di Amuntai, Tentara Kebangsaan Indonesia (TRI) di Ampah dan Kelua, Gerakan Rakyat Mempertahankan Republik Indonesia (GERMERI) di Kandangan, Lasyakar Syaifullah di Haruyan yang dipimpi8n oleh Hassan Basery. , Benteng Indonesia di Kandangan, Pembantyu Tentara Republik (PETYER) di Negara dan Benteng Borneo di Rantau ( Usman dkk, 1991:107).
Menurut Gazali Usman (1991:108) organisasi-organisasi kemudian dihimpun menjadi suatu kegiatan dan diberi nama Batalion Rahasia ALRI Divisi IV ()A) Pertahanan Kalimantan. Divisi ini merupakan bagian dari ALRI IV yang bermarkas di Mojekerto Jawa Timur. Divisi IV AlRI (A) dikomandai oleh Hasan Basery berkedudukan di Kandangan.
Ketilka Belanda melancarkan agresi ke II ke Yogyakiarta pada tahun 1948 dan melakukan penangkapan-penangkapan para pemimpin RI. Saat itu, Belanda beranggapan bahwa RI sudah bubrah. Divisi IV ALRI (A) malah mempersiapkan diri untuk melakukan aksi. Salah satu aksi dari DIVISI IV AlRI (A) mengeluarkan pernyataan tentang keberadaannya dengan dasar pikiran sebagainberikut:
a. Untuk men yatakan kepada masyarakat dean pemerintah RI serta dunia umu7mnya, bahwa gerilyawan ALRI Divisi IV (A) pertahanan Kalimantan yang berada di Kalimantan benar-benar masih ada dan nmempunyai kekuatan serta klemampuan untuyk untuk menyusun suatu pemerintahan dalam lingkungan wilayah RI meskipin nsecara de fakto masih dibawah Belanda
b. Menyatukan pimpinan dan organisasi perjuangan ke dalam suatu pimpinan yang berbentuk pemerintah Gubernur tentyara,
c. Sesudah class kedua terjadi menyatakan sebagai persiapan menmghadapi gagalnya Pemerintah darurat di Sumatera serta pemerinmtahan pe;aroian di New Delhi India. Kalimantan dipersiapkan untuk dijadikan pusat pemerintahan RI sebagai usaha kelanjutan perjuangan merebut kemerdekaan,
d. Mempersatukan seluruh potensi dan rakyat Kalimantan untuk merubah struktur perekonomian colonial dengan membangun poerekonomian nasional
e. Di samping itu vacumnya pemerintah karena asisten kiai Belanda (camat) ditarik dari pemerintahan kecamatan, sehingga rakyat benar-benar tidak mempunyai pemerintahan ( Usman, 19091:133).
Dalam opreasio militernya Divisi IV ALRI (A) telah berhasil membuat pemerintah Belanda dan kolobarasinya merasa terancam keberadaannya di Kalimantan Selatan./ Kekuasaan Divisi IV ALRI (A) selain menguasai daerah pedalaman pengaruhnya juga terasa di banjarmasin, sehingga Belanda terpaku dan sangat sukar membuka hubungan ke Pelabuhan Udara Ulin. Menilik keberhasilan Divisi IV ALRI (A) tidak dapat dipisahkan oleh keberadaan tokohnya-tokohnya seperti Hasan Basery, Gusti Aman, P. Aria, H. Aberani Sulaiman, Budhi Gawis. Selain itu, masih terdapat nama-nama seperti Martinus, H. Damanhuri, daeng Lajida, Abdurrahman, dean Ibnu Hajar mereka-mereka ini nadalah komandan-komandan pasukan penggempur dari Divisi IV ALRI(A) ( Usman, 1983:120). Menurut Nasution (Dijk, 1983:24) di Divisi IV ALRI (A) terdapat sub divisi lain, yang menyebut-nyebut nama Ibnu Hajar sebagai salah seorang dari dua komandan di Hulu Sungai Selatan.
Pada tanggal 10 November 1949, atas kebijakan pusat Divisi mIV ALRI (A) dirubah namanya menjadi Divisi Lambung Mangkurat. dalam suatu upacara yang sederhana di Kandangan dan Hasan Basery masih tetap menjadi komandannya. Perubahan nama Divisi IV ALRI (A) menjadi Lambung Mangkurat membuat posis Hasan Basery mengalami posisi mobiliytas vertical yang menurun. Katakan saja, hasan Basery walaupun masih tetap menjadi komandan, akan tetapi ia tidak menmjadi panglima untuk seluruh Kalimantan. Adapun yang menjadi panglima tentara dan terotrium (VI) dijabat oleh orang pusat bernama Letnan Kolonel Sukanda Bratamanggala, sedangkan Hasan nBasery hanya dijadikan komandan subwilayah III yang meliputi wilayah banjar (Dijk, 1983: 224)
Dalam komposisi Divisi lambung Mangkurat anggotamnya tidak melulu dari prajurit Divisi IV ALRI melainkan dari kesatua-kesatu8an gerilya lainnya, dan terakhir bekas KNIL. Bisa dibayanghkan mantan prajurit Divisi IV ALRI (A) yang dahulunyan bermusuhan dengan para prajurit KNIL saat itu tyinggal dan hidup bersama.
Lebih lanjut Dijk menuturkan, bahwa banyak manta prajurit divisi IV ALRI (A) dimutasi ke Kalimantann Timur, Tenggara dan Barat. Bahkan ada yang dikirim mke Jawa Barat untuk,menumpas DI. Selain itu, sekitar 40 sampai 50 orang perwira mantan Divisi IV ALRI (A) dikiirim kle Yogya untuk mmengikuti kurusus militer di Akademi Militer Nasional. Ibanya mereka di sana, ternyata Akademi Militer Nasional sudah tutup. Akhirnya mereka kembali ke Kalimantan, hanya seoramng yang meneruskan pendidikan militernya di Surabaya.
IBNU HAJAR SEBAGAI TOKOH MASYARAKAT TERTINDAS
Dari paparan di atas, ada fenomena kekecewaan dari mantan prajurit Divisi IV ALRI (A). Dari paparan di atas, kita dapat melihat kekecewaan dari mantan prajurit Divisi IVB ALRI (A)., Salah seoramngnya adalah Letnan Dua Ibnu hajar pemimpin gerilya di sekitar Kandangan. Ia mengakomadasi rasa kekecewaan kawan-kawannya. Pada akhirnya ia membentuk organisasi gerilya baru bernama Kesatuan Rakyat Indonesia yang Terttindas (KRIyT), yang menganggap pemerintah pusat telah melakukan penghhianatan danb penindasann (Dijki:229).
Dari nama organisasi gerilya yang baru terbentuk menyiratkan rasa ketertipuan dan kekecewaan Ibnu hajar dan para mantan prajurit dari Divisi IV ALRI (A). Menurut Dijk salah satu penyebab kekecewaan mereka adalah persoalan demobilisasi. Demobilisasi dan rasionalisasi terhadap unsure-unsur Divisi IV ALRI sejak awal triwulan p-ertama 1950 membuat kepribadian khusus dari divisi ini terpuruk. Salah satu cir I yang menoinjol dari divisi ini adalah teguhnyanya mereka berpegang pada ajaran Islam. Dalam banyak keterangan divisi telah melakukan upaya-upaya untuk memajukan agama Islam dan syariat5nya di daerah-daerah pedesaan sehingga disukai oleh rakyat.
Demobilisasi berdampak pula pada ekonomi mantan prajurit divisi ini. Hal ini terlihat dari tunjangan yang mereka terima hanya sebesar tiuga rupiah dari pemerintah pusat. Pada akhirnya bagi mereka yang yang tetap berada pada dinas kemiliteran merasakan adanya diskriminasi dibandingkan rekan-rekannya di Jawa. Bagi manta prajurit Divbisi IV ALRI (A) yang terkena demobilisasi tidak diakui sebagai veteran dan tidak dapat menerima pensiunan (Dijk:230). Selain itu, hancurnya system koperasi yang telah dibangun di pedesaan oleh divisi ini dan tegaknya penguasaan pedagan dari kota ke desa.
Pihak gerilya merasa pula banyaknya jabatan penting diduduki oleh orang luar Kalimantan khususnya dari Jawa dan orang-orang yang telah berkoloborasi dengan Belanda. Aklhirnya mereka mengajukan tuntutan ke puisat agar pejabat-pejabat tertentu dalam pemerintahan sipil, militer dan kepolisian dimutasikan. Tetapi tuntutan itu tidak digubris oleh pemerintah pusat.
Suasana seperti yang digambarkan di atas, menaikan pamor Ibnu Khajar dan KRIyTnya di kalangan mantan prajurit Divisi IV ALRI (A) dan rakyat Kalimantan umumnya. Gerakan IBnu Khajar dengan KRIyTnya dalam aksinya menentang fihak kepolisian pusat menggunakan taktik perang gerilya. Aktivitas aksinya semakin meluas ke wilayah-0wilayah Barabai, Birayangh, Batumandi, Paringin, Kelua dan Kandangan.
Dalam suasan yang semakin runcing, pada tahun 1951 Hasan Basery sebagai seorang yang dihormati oleh masyarakat Kalimantan Selatan oleh pemerintah pusat diberangkatkan ke Mesir untuk sekolah. Keberangkatan Hasan Basery membuat rakyat Kalimantan Selatan (Banjar ) semakin simpati kepada gerakan Ibnu Khajar. Pada umumnya masyarakat Kalimantan Selatan merasa, bahwa Divisi IV ALRI (A) dan tokoh-tokohnya yang telah berkorban banyak demi be4rdirinya Republik Indonesia di tanah Kalimantan kedudukannya semakin berada pada posisi dimarjinalkan.
Ibnu khajar dengan pasukannya sebagai tokoh alternative setelah Hasan basery di mata masyarakat membangun hubungan dengan para pengikutnya di wilayah-wilayah yang tersebar melalui perantara para komandan local. .Mereka merangkap sebagai kepala pemerintahan daerah pemberontakan dan masing-masing mempunyai daerah operasi khususnya. . Para komandan local ini adalah teman-temen seperjuangan bahkan diantaranya ada seorang adiknya Ibnu Khajar bernama Dardiansyah.
Dalam menghadapi pemberontakan Ibnu Khajar, pemerintah pusat menggunakan tokoh-tokoh kharismatik local seperti Hasan Basery (mantan komandannya Ibnu Khajar) dan Idham Khalid seorang politikus dari Nahdiatul Ulama (NU) untuk mermbujuk Ibnu Khajar dan KRIyTnya agar meletakan senjata.
Pada bulan Juli 1963, Ibnu Khajar dan pengikutnya menyerahkan diri di DFesa Ambulun Hulu Sungai Selatan. Menarik untuk dicermati, ketika ia berbicara kepada pers, “ apabila Negara membutuhkannya ia bersedeia mengabdi kepada republic dan ia berserta pengikutnya bersedia dilibatkan dalam konfrontasi dengan Malaysia”. Perkataan Ibnu Khajar mengisyaratkan, bahwa ia tetap memiliki perasaan patriot dan cintanya akan republic ini.
PENUTUP
Apabila dicermati kenapa Ibnu Khajar menjadi tokoh masyarakat yang tertindas. Hal ini memperlihatkan betapa mahal ongkos social yang harsus dibayar oleh Negara ketika membangun tentara yang professional. Membangun tentara profesioonal pada sisi lain harus ada demobilisasi dan rasionalisasi yang akhirnya memunculkan konflik vertical. Bagaimana tidak demobilisasi dan rasionalisasi, memarjinalkan prajurut-dan perwira daerah. Selain itu, posisi strategis lainnya didominasi oleh oramngnpusat ketimbang daerah. Perasaan dimarjinalkan yang ada pada prajurit local kemudian diakomodasi oleh Ibnu khajar.
Pada tataran berikutnya perasaan tidak puas yang mendera preajurit local oleh Ibnu Khajar diberi makna ideologis agama. Islam. Terintegrasinya symbol agama dan keprimordialan membanghkitkan motivasi dan sekaligus memunculkan harapan di kjalangan pengikut untuk berjuang.
Dalam konteks di matas, Ibnu Khajar dengan aksinya merupakan nsuatu refleksi dari dinamika local yang bertabrakan dengan pusat. Dalam arti lain, bahwa dinamika local merupakan pantulan pusat dari keharusan pusat (Abdullah: 104).
Pengalaman yang dapat ditarik dari peristiwa itu, men yadarkan kepada kita, bahwa kebijaksanaan yang sentralistis memunculkan dampak yang berartti. Dalam artian pengembanmgan dalam mbidang politik, social dan ekonomi, kebudayaan, militer dan aparatur Negara harus menyalurkan dinamika masyarakat local yang menginmgkinmkan perbaikan dan pembaruan.
KEPUSTAKAAN
Abdullah, Taufik,. 2001. Nasionalisme &Sejarah: Bandung: Satya Historika
Collingwood, 1985, Ide Sejarah. Kuala Lumpur: Universitras Kebangsaan
Dijk, Van, 1983. Darul Islam Sebuah Pemberontakan. Jakarta: Grafiti Pers
Usman, Gazali., 1991. Sejarah revolusi Kemerdekaan (1945-1949) daerah Kalimantan
Selatan. Banjarmasin: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Basry, H. hasan, 1961. Kisah Gerilya Kalimantan dalam Revolusi Indonesia (1945-1949)
. Vol 1. Banjarmasin: Yayasan Lektur Lambung Manghkurat
Gonggong, Anhar,” Militerisme dan Dampaknya Terhadap Budaya Lokal di Sulawesi
Selatan” dalam Edward L. Poelinggomang & Suriadi Mapppangara, 2000, Dunia
Militer Indonesia. Yogyakarta:nGadjah Mada University Press.
IBNU HADJAR DAN STIGMA PEMBERONTAK
Oleh WAJIDI
Pada awal tahun 1950-an, yakni sesudah selesainya Perang Kemerdekaan Indonesia, Pemerintah Pusat mengeluarkan kebijakan mendemobilisasi mantan pejuang gerilya dan merasionalisasi anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang menimbulkan berbagai benturan, persoalan, ketidakpuasan, gerakan politik dan bersenjata di sejumlah daerah, seperti Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Aceh, dan Kalimantan Selatan.
Persoalan yang berkaitan dengan konteks nasional itu, tidak terlepas dari Konferensi Meja Bundar (KMB) yang menghasilkan “Pengakuan Kedaulatan” (transfer of sovereignty) 27 Desember 1949, berupa serah terima pemerintahan antara Pemerintah Kerajaan Belanda dengan Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS). Di samping itu, serah terima di bidang kemiliteran yang meliputi bidang personil, material dan aparat pendidikan.
Sesuai dengan keputusan KMB, tanggungjawab keamanan seluruhnya harus diserahkan kepada Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) yang berintikan TNI dan meliputi orang Indonesia anggota KNIL serta kesatuan-kesatuan NICA (Netherlands Indies Civil Administration) lainnya yang berkeinginan masuk. Sehubungan dengan itu, dalam rangka peleburan anggota KNIL ke dalam APRIS, pemerintah RIS mengeluarkan be¬berapa peraturan dengan tujuan agar peleburan itu dapat berjalan setertib mungkin. Oleh sebab itu, berdasarkan Undang-Undang Darurat No. 4/1950 (Lembaran Negara No. 5/1950), maka yang dapat diterima menjadi anggota APRIS adalah warga negara RIS bekas anggota Angkatan Perang RI (TNI) dan warga negara RIS bekas anggota angkatan perang yang disusun oleh atau di bawah kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda atau NICA,
Menurut Nugroho Notosusanto (1985) usaha peleburan tersebut, didasarkan kepada kebijaksanaan Perdana Menteri Mohammad Hatta yang berkeinginan menstransformasikan TNI yang lahir sebagai tantara nasional, tentara rakyat, tentara revolusi, menjadi suatu tentara profesional menurut model Barat. Untuk itu dipekerjakan suatu Nederlands Militaire Missie (NMM) atau Misi Militer Belanda sebagai pelatih prajurit-prajurit TNI. Kebijaksanaan tersebut sudah barang tentu tidak populer di kalangan TNI dan menimbulkan masalah psikologis.
Ditinjau dari segi politik militer peleburan itu merupakan suatu kemenangan, tetapi akibat psikologis bagi TNI adalah berat. TNI dipaksa menerima sebagai kawan orang-orang yang selama pe¬rang kemerdekaan menjadi lawan mereka. Sementara itu di kalangan TNI sendiri banyak anggota-anggotanya yang harus dikembalikan ke masyarakat, sebab dianggap tidak memenuhi syarat-syarat untuk tetap menjadi anggota angkatan perang.
Di Kalimantan Selatan, benturan-benturan juga terjadi ketika diadakannya usaha-usaha pembentukan TNI dan peleburannya ke dalam APRIS. Sebagai realisasi diri pelaksanaan Undang-Undang Darurat No. 4/1950, maka pada tanggal 28 Januari 1950 Komandan Teritorium VI, yaitu Letnan Kolonel Sukanda Bratamenggala menerima bekas KNIL sebanyak 125 orang. Dalam tulisan Dhany Justian (1972) disebutkan, Letnan Kolonel Sukanda Bratamenggala telah menerima bekas KNIL berupa 1 kompi infantri dari bawah pimpinan Letnan Satu Sualang dan 1 kompi bantuan dari bawah pimpinan Letnan Kotton.
Sebagian anggota KNIL yang masuk dalam APRIS itu dijadikan pelatih dan komandan pasukan, dan mereka rata-rata dinaikan pangkatnya, sedangkan sebagian besar mantan pejuang gerilya yang masuk APRIS hanya berpangkat rendah dan prajurit biasa. Selain itu, utusan militer dari Pusat yang didatangkan ke Kalimantan Selatan dengan tujuan untuk menyempurnakan Divisi Lambung Mangkurat menjadi kesatuan yang modern telah menimbulkan ketegangan-ketegangan pada anggota divisi yang nota bene mantan anggota gerilya. Mereka harus menjalani pemeriksaan kesehatan untuk dilihat siapa-siapa yang tetap menjadi tentara republik dan siapa yang harus dikembalikan atau didemobilisasikan ke masyarakat. Sebagaimana dinyatakan Hassan Basry (2003) bagi mereka yang dikembalikan ke masyarakat atau yang tidak memenuhi syarat sebagai anggota APRIS, kepadanya diberikan pesangon berupa uang sebesar Rp 50,- dan selembar kain sepanjang 1,3 meter.
Persoalannya tidak hanya itu, setelah menjalani penyaringan mereka harus melaksanakan aturan-aturan militer yang ketat yang diberikan oleh pejabat-pejabat militer mantan anggota KNIL dari Jawa yang mereka pandang telah meremehkan dan merendahkan martabat mereka.
Dan lebih celaka lagi, menurut mereka, jabatan militer dan sipil yang terpenting terus diduduki oleh orang yang mereka pandang pernah bekerjasama dengan Belanda (NICA) atau diberikan kepada orang-orang dari luar daerah. Sementara itu, ada usaha-usaha untuk memisahkan mantan pimpinan gerilyawan dengan anak buahnya, misalnya dengan mengirim Kolonel H. Hassan Basry ke Kairo, Mesir dengan tugas belajar di Universitas Al-Azhar dan tinggallah bekas-bekas anak buah sebagai anak ayam kehilangan induknya.
Masuknya bekas KNIL ke dalam APRIS, menimbulkan beberapa masalah besar bagi intern APRIS pada umumnya, dan bagi pasukan TNI yang nota bene mantan pejuang kemerdekaan, seperti mantan pasukan MN 1001/MTKI dan ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan, atau mantan pejuang gerilya lainnya. Mereka dipaksa untuk menerima KNIL sebagai mitra atau teman sekerja, sedangkan pada masa perang kemerdekaan KNIL adalah musuh mereka. Masalah tersebut di atas juga terungkap dalam tulisan Kodam X/Lam (1970) dan tulisan Dhany Justian (1972) sebagai berikut:
Pasukan MTK/Tengkorak Putih dan MTKI/MN 1001 yang ketika didrop ke Kalimantan adalah TRI berpendapat bahwa mere¬ka sudah menjadi Tentara Republik Indonesia yang resmi sehingga merasa tidak perlu lagi masuk ke dalam TNI. Badan -badan Perjuangan tersebut di atas bekerja sama dengan tokoh-tokoh ALRI Divisi IV/PK, dan di samping itu banyak tokoh-tokoh tidak dapat menerima penggabungan KNIL ke da¬lam TNI tersebut, disebabkan mereka masih beranggapan bahwa bekerjasama dengan KNIL sama dengan bekerjasama dengan musuh yang dulu membunuhi rakyat.
Adanya demobilisasi seperti dikemukakan sebelumnya, tidaklah mengecewakan, jika tidak dibarengi dengan laku lajak (over acting) Tentara Republik yang dahulunya bekas KNIL (Ideham dkk, ed., 2003) dan sikapnya meremehkan prestasi daerah dalan perjuangan kemerdekaan (Dijk, 1983). Di samping itu, kekecewaan muncul karena per¬soalan pribadi dari beberapa tokoh menyangkut perbedaan kedudukan, fasilitas, prioritas dan sebagainya.
Tidak mengherankan memang dalam masa peralihan tersebut ada sebagian anggota Divisi Lambung Mangkurat maupun para demobilisan tidak sanggup menghadapi kenyataan dan ingin meneruskan hidup yang avonturis. Akibatnya timbul berbagai ekses dan konflik, seperti konflik mental, batin dan fisik yang dimanifestasikan dalam berbagai bentuk, misalnya meneruskan cara hidup serobotan, penggedoran, penculikan, pemerasan, dan perbuatan-perbuatan lainnya yang dipandang mengganggu ketenteraman umum. Aksi-aksi mereka terus berlanjut sampai munculnya Gerombolan Suriansyah (Tan Malaka) dan Kesatuan Rakyat Indonesia yang Tertindas (KRIyT, KRJTT) yang dipimpin oleh Ibnu Hadjar, seorang mantan pejuang gerilya, yang karena tindakannya itu maka ia diberi stigma (noda, cacat) oleh Pemerintah Pusat sebagai “pemberontak”.
Mengutip Ensiklopedia bebas Wikipedia (http://id.wikipedia.org/wiki/Ibnu_Hadjar), disebutkan:
“Ibnu Hadjar alias Haderi bin Umar alias Angli adalah seorang bekas Letnan Dua TNI yang kemudian memberontak dan menyatakan gerakannya sebagai bagianDI/TII Kartosuwiryo. Dengan pasukan yang dinamakannya Kesatuan Rakyat Yang Tertindas, Ibnu Hadjar menyerang pos-pos kesatuan tentara di Kalimantan Selatan dan melakukan tindakan-tindakan pengacauan pada bulan Oktober 1950.
Untuk menumpas pemberontakan Ibnu Hadjar ini pemerintah menempuh upaya damai melalui berbagai musyawarah dan operasi militer. Pada saat itu pemerintahRepublik Indonesia masih memberikan kesempatan kepada Ibnu Hadjar untuk menghentikan petualangannya secara baik-baik, sehingga ia menyerahkan diri dengan kekuatan pasukan beberapa peleton dan diterima kembali ke dalam Angkatan Perang Republik Indonesia. Tetapi setelah menerima perlengkapan Ibnu Hadjar melarikan diri lagi dan melanjutkan pemberontakannya.
Pada akhir tahun 1954, Ibnu Hajar membulatkan tekadnya untuk masuk Negara Islam. Ibnu Hajar diangkat menjadi panglima TII wilayah Kalimantan.
Perbuatan ini dilakukan lebih dari satu kali sehingga akhirnya Pemerintah memutuskan untuk mengambil tindakan tegas menggempur gerombolan Ibnu Hadjar. Pada akhir tahun 1959 pasukan gerombolan Ibnu Hadjar dapat dimusnahkan dan lbnu Hadjar sendiri dapat ditangkap. Gerakan perlawanan baru berakhir pada bulan Juli 1963. Ibnu Hadjar dan anak buahnya menyerahkan diri secara resmi dan pada bulan Maret 1965 Pengadilan Militer menjatuhkan hukuman mati kepada Ibnu Hajar”.
Dari tulisan Wikipedia itu sudah jelas sekali terlihat bahwa stigma pemberontak yang dikenakan kepada mereka itu menunjukkan bahwa selama ini persoalan Ibnu Hadjar dan kawan-kawan yang membentuk KRIyT dipandang dalam perspektif Pemerintah Pusat.
Permasalahannya adalah apakah tepat jika persoalan itu hanya dilihat dari sudut pandang Pemerintah Pusat? Bagaimana jika persoalan Ibnu Hadjar dipandang dalam perspektif daerah, sosial budaya setempat, dirinya sendiri, atau menurut pandangan para demobilisan dan mantan pejuang gerilya? Apa yang melatar belakangi Ibnu Hadjar dan pengikutnya bertindak demikian yang oleh Pemerintah Pusat dipandang mengganggu ketenteraman umum? Ibnu Hadjar adalah seorang pejuang kemerdekaan, semua orang mengakuinya. Faktanya memang demikian. Namun, apakah karena ia berseberangan ideologi atau politik dengan Pemerintah Pusat maka ia kemudian divonis sebagai pemberontak? Hal inilah yang menjadi persoalan serius. Pendek kata, banyak hal sebenarnya yang dapat digali dari seorang Ibnu Hadjar, tanpa harus terjebak pada persoalan apakah beliau seorang pemberontak atau tidak. Bagaimana menurut anda?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Sangat membantu artikelnya,bagus nie buat meluruskan sejarah
BalasHapusSaya dukung pelestarian khazanah cerita rakyat, hikayat, legenda, situs sejarah dan situs prasejarah kandangan, hulu sungai selatan, kalimantan selatan seperti Situs pemukiman hunian kuno manusia prasejarah di situs jambu hilir padang rasau dan situs jambu hulu sungai tatau, Sang maharaja sukarama dan raja-raja dari kerajaan negara daha, perebutan tahta pangeran samudera dengan pangeran tumenggung, legenda raja gubang dan raja bagalung kerajaan bakaling, datu panglima amandit, datung suhit dan datuk makandang, datu singa mas, datu kurba di sungai paring dalam, datu ramanggala di ida manggala, datu rampai dan datu parang di baru sungai raya, datu ulin dan asal mula kampung ulin, datu sangka di papagaran, datu saharaf parincahan, datu putih dan datu karamuji di banyu barau, legenda batu laki dan batu bini di padang batung, legenda gunung batu bangkai loksado, datu ning suriang pati di gambah dalam, legenda datu ayuh sindayuhan dan datu intingan bambang basiwara di loksado, kisah datu ning bulang di hantarukung, datu durabu di kalumpang, datu baritu taun dan datu patinggi di telaga langsat, legenda batu manggu masak mandin tangkaramin di malinau, kisah telaga bidadari datu awang sukma di hamalau, kisah gunung kasiangan di simpur, kisah datu kandangan macan panjadian dan datu kartamina buhaya panjadian, datu bungkul dan datu balimbur serta sejarah mesjid quba hamawang, tumenggung antaludin, tumenggung mat lima dan tumenggung mat jingga mempertahankan benteng gunung madang, panglima bukhari dan perang amuk hantarukung di simpur, datu naga ningkurungan luk sinaga di luk loa, datu singa karsa dan datu ali ahmad di pandai, datu buasan dan datu singa jaya di hampa raya, datu haji muhammad rais dan datu jaya pati di bamban, datu janggar dan datu janggaran di malutu, datu bagut di hariang, sejarah mesjid ba angkat di wasah, dakwah penyebaran agama islam tumenggung kartawedana, datu haji sahid dan datu haji said, datu taniran di angkinang, datu balimau di kalumpang, datu daha, datu kubah dingin, makam habib husin di tengah pasar kandangan, kubur habib ibrahim nagara dan kubah habib abu bakar lumpangi, kubur enam orang pahlawan di ta’al, makam keramat bagandi, kuburan tumpang talu di parincahan, pertempuran garis demarkasi dan kubur Brigjen H.M. Yusi di karang jawa, pahlawan wanita aluh idut di tinggiran, panglima dambung di padang batung, gerombolan letnan dua Ibnu hajar, sampai cerita tentang perang kemerdekaan Divisi IV ALRI oleh pejuang-pejuang kandangan yang banyak tersebar di banua amandit yang dipimpin Brigjend H. Hasan Basry di telaga langsat, karang jawa, jambu, mandapai, padang batung, ni’ih, simpang lima, mandampa, sungai paring, tabihi, durian rabung, longawang, jalatang, munggu raya dan pembacaan teks proklamasi kemerdekaan kalimantan.Semuanya adalah salah satu aset budaya dan sejarah bagi Kalimantan Selatan.
BalasHapus